Teluk Kepayang- Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (24/6/2025) berlangsung tanpa pembacaan surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Ketua DPR Puan Maharani sama sekali tidak menyinggung dokumen tersebut dalam pidato pembukaan masa sidang, meskipun surat itu telah resmi diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR sejak awal Juni.
Dalam Rapat Paripurna Ke-20 Masa Persidangan IV 2024-2025, Puan hanya menyampaikan daftar hadir anggota (320 hadir, 54 izin) dan menyampaikan pidato tunggal tanpa membahas surat dari para purnawirawan. Padahal, surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu secara eksplisit meminta DPR dan MPR mempertimbangkan proses pemakzulan Gibran berdasarkan analisis hukum terkait proses pencalonannya sebagai wapres.
Bimo Satrio, Sekretaris Forum Purnawirawan, mengonfirmasi bahwa surat telah dikirim ke DPR, MPR, dan DPD pada 2 Juni 2025. “Kami siap dipanggil untuk menjelaskan lebih detail jika diperlukan,” tegas Bimo. Namun, hingga kini belum ada respon resmi dari lembaga legislatif.

Tanggapan Jokowi “Biarkan Proses Hukum Berjalan”
Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi)—yang juga ayah Gibran—menanggapi usulan ini dengan santai. “Ini bagian dari dinamika demokrasi. Ikuti saja prosesnya sesuai sistem ketatanegaraan,” ujarnya di Solo (6/6/2025). Jokowi menegaskan, pemakzulan hanya bisa dilakukan jika ada bukti korupsi, pelanggaran berat, atau tindakan tercela.
-
Strategi Penundaan: Sikap DPR yang “mengabaikan” surat ini bisa menjadi upaya mendinginkan situasi politik, mengingat sensitivitas isu pemakzulan di awal masa jabatan Gibran.
-
Desakan Purnawirawan: Forum Purnawirawan TNI—yang terdiri dari mantan perwira tinggi—memiliki pengaruh moral dan jaringan yang kuat. Pengabaian DPR berpotensi memicu kritik dari kalangan militer dan aktivis hukum.
-
Prospek Pemakzulan: Secara prosedural, pemakzulan harus melalui proses panjang di MPR dengan dukungan minimal 2/3 anggota DPR. Saat ini, pendukung Gibran masih dominan, membuat usulan ini kecil kemungkinannya terlaksana.
Keputusan DPR untuk tidak membahas surat ini bisa menjadi preseden berbahaya jika dianggap mengesampingkan mekanisme checks and balances. Namun, di sisi lain, langkah ini mungkin diambil untuk menghindari krisis politik dini di era pemerintahan baru.